PENYAKIT BANGSA
Penyakit Partai
Politik, Penyakit Bangsa Indonesia
Fenomena
korupsi sedang menjangkit partai politik di indonesia. hal tersebut merupakan
cerita lama yang terus berulang-ulang. Partai politik tidak bisa mengambil
hikmah dari kejadian korupsi yang dialami oleh partai lain. Korupsi
menjadi sebagian dari penyakit – penyakit partai politik yang ada di indonesia.
poinnya ialah partai politik di indonesia saat ini sedang berada titik nadir.
Jika tidak segera disembuhkan bisa jadi partai politik akan hancur. Hal ini
tentu akan mencederai demokrasi di negeri ini.
Lantas
apa yang menyebabkan penyakit dalam partai politik terjadi? Penulis mencoba
mengkategorisasikan sebab-sebab tersebut menjadi dua kategori. Yaitu factor
internal dan factor eksternal partai politik.
Factor
internal partai politik dipengaruhi oleh kelembagaan partai politik.
Kelembagaan yang dimaksud ialah proses pembentukan organisasi partai dari segi
system. Dalam hal ini penulis mencoba melihat dari hal kaderisasi partai. kita
bisa melihat bagaimana partai –partai politik menciptakan kader-kader instan.
Artinya orang-orang yang menduduki elite partai bukan orang-orang yang
mengikuti jenjang kaderisasi partai. yang lebih berbahaya ialah uang menjadi
sebuah alasan bagi parpol untuk merekrut seorang kader. Pada akhirnya ialah
partai politik hanya berisikan orang-orang yang mempunyai uang banyak. Maka
tidaklah heran jika dalam memainkan fungsinya partai tidak lagi pro rakyat
miskin. Jika hal ini semakin terjadi maka rakyat akan semakin muak dan memboikot
partai politik dalam pemilu. Hal tersebut dapat dilihat dari tren golput yang
dari pemilu ke pemilu semakin tinggi. Maka pembenahan kelembagaan partai
menjadi sebuah solusi. Rekrutmen politik partai haruslah jelas(tidak berstandar
ganda) sehingga kader-kader yang ada dalam partai tersebut mencerminkan
ideology partai.
Factor
eksternal dapat dilihat dari high cost politic. Dalam pemilihan umum partai
politik tentulah memerlukan pembiayaan partai. lumrahnya pembiayaan partai
didapat dari internal partai melalui sumbangan anggota partai politik. Namun,
dalam realitanya sumbangan dari anggota partai politik sangat kurang untuk
menutupi pembiyaan politik di pemilu. Dalam pemilukada misalnya, untuk
memenangkan suatu calon partai membutuhkan berpuluh-puluh milyar. Jumlah
tersebut tidak bisa ditutupi jika partai mengajukan calon internal tapi
tidak memiliki uang. Maka dari itu partai mencoba melakukan konvensi bagi
calon-calon lain yang memiliki uang. Dan yang lebih sering dilakukan partai
politik ialah menungu mahar dari calon lain (berasal dari partai lain) untuk
memberikan dukungan. Sama hal nya di level legislative. Untuk mengusung caleg
internal partai memberlakukan money politics. Anggota partai yang memberikan
uang lebih banyak tentu akan di berikan nomer urut terbaik dan ditempatkan di
daerah yang menguntungkan caleg partai tersebut. Belum lagi ketika pemilu
legislative beralangsung, berapa uang yang dikeluarkan caleg untuk merebut
kursi legislative? Tentu lebih dari 1 milyar. Jika hal tersebut terus terjadi maka
mau tidak mau pragmatism dalam pembiyaan politik harus terjadi. Korupsi menjadi
langkah “terbaik” dan mudah untuk dilakukan partai melalui anggota-anggotanya
yang berada di jabatan public.
Penyakit
partai politik tidak bisa dihilangkan dengan hanya memasang iklan untuk anti
korupsi, mengajak masyrakat untuk tidak korupsi. Sesungguhnya yang perlu diajak
untuk anti korupsi ialah partai partai yang beriklan tersebut. Pemberantasan
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembenahan di internal dan eksternal
partai. yaitu pelembagaan partai melalui kaderisasi dan system partai, termasuk
dalam hal ini partai mempunyai ideology yang jelas tidak abu-abu. Yang kedua
ialah menekan high cost politics. Saat ini sudah banyak study yang memberikan
secara rinci untuk menekan biaya kampanye partai. study tersebut menekankan
bahwa kampanye poltikm yang low budget dapat terjadi jika partai-partai
mengusung calon legislative, eksekutif di pusat maupun daerah yang merupakan
kader-kader terbaik partai. sehingga kita bisa melihat korelasi antara factor
eksternal dan factor internal partai seperti yang dib ahs di paragraph-paragraf
sebelumnya. Dengan demikian partai politik tidak lagi menyalahkan masyarakat
yang membuat high cost politic. Karena dengan kelembagaan partai yang bagus,
high cost politic tidak akan terjadi. Ketika harga politik yang rendah maka
akan timbul kader-kader terbaik bangsa yang berasal dari partai politik. Dengan
demikian penyakit partai pelahan akan terbasmi dengan sendirinya.
3 Penyakit Bangsa Indonesia Menurut Tifatul
KabarPKS.com - Jakarta - Bangsa Indonesia
memiliki tiga penyakit yang sulit untuk dihilangkan. Yakni kurang pandai
bersyukur, hobi menghujat, dan suka mencari kesalahan orang.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengemukakan
hal itu saat membuka Pekan Informasi Nasional (PIN) 2013 di Lapangan Merdeka
Medan, Sabtu (25/5).
Pada kesempatan itu Tifatul mengajak semua pihak berhenti
memecah belah bangsa dengan tidak sembarang mengumbar kata-kata yang dapat
memicu perpecahan.
“Di negara bebas seperti Amerika Serikat sekalipun pun,
tetap ada aturan main bagi orang untuk mengemukakan pendapat,” katanya.
Tifatul menyoroti peran media saat ini. Menurutnya, media
memiliki peran penting dalam penyampaian informasi kepada masyarakat.
“Namun media juga dapat memecah belah NKRI,” katanya.
Media seperti ini biasanya dimanfaatkan oknum tertentu untuk
memecah belah NKRI. Namun tidak satu pun ada yang berupaya
menghentikannya.
“Apakah harus menunggu hancur dulu negara ini baru kita sadar akan
pentingnya persatuan,” katanya.(HAS/tajuk.co/kabarpks)
Tujuh
Penyakit Bangsa
Bangsa Indonesia sedang sakit. Itu tidak dapat
diragukan. Beragam krisis menghantam tanpa ada upaya untuk melawan. Kita
terjebak di dalam lingkaran setan.
Saya melihat setidaknya ada tujuh penyakit
bangsa. Semua dimulai dari tiadanya kepastian hukum. Penyakit ini begitu
sistemik dan mengakar. Langkah pertama adalah menyadari dan mengakui keberadaan
penyakit-penyakit ini.
Hukum yang Korup
Penyakit pertama adalah sistem hukum yang korup.
Menurut Habermas seorang filsuf Jerman kontemporer, hukum adalah penyangga
masyarakat majemuk. Di dalam masyarakat yang memiliki beragam kriteria nilai
hidup, hukum menjadi sabuk yang menyatukan semuanya, sehingga tidak terjadi
perpecahan. Syaratnya adalah hukum itu merupakan hasil dari kesepakatan bebas
dari pihak-pihak yang nantinya terkena dampak dari hukum itu, baik langsung
ataupun tidak.
Di Indonesia sistem hukum jelas kacau. Perangkat
hukumnya bias dan diskriminatif dalam beberapa aspek. Aparat penegak
hukumnya pun amatlah bermasalah. Begitu mudah suap dilakukan untuk mempermulus
proses hukum pihak-pihak yang berkuasa. Rakyat yang tidak berpunya pun sulit
untuk mendapatkan keadilan.
Inilah penyakit utama bangsa kita. Sistem hukum
yang seharusnya menjadi pengikat di dalam masyarakat majemuk justru korup dan
merusak semuanya. Orang hidup dalam ketidakpastian. Keadilan hanya cita-cita
yang tak kunjung datang.
Maka reformasi hukum adalah sesuatu yang tidak
bisa ditunda. Pranata hukum harus dibuat sebebas mungkin dari bias dan
kepentingan-kepentingan partikular yang tidak adil. Aparat penegak hukum juga
perlu dilakukan seleksi ulang. Kriteria utama bukanlah kedekatan pribadi,
melainkan kompetensi untuk menjamin penerapan hukum yang sedekat mungkin dengan
ide keadilan.
Pendidikan yang Salah Arah
Pendidikan dianggap sebagai ujung tombak
perubahan bangsa. Melalui pendidikan anak-anak calon pemimpin bangsa di masa
depan mengalami pembentukan cara berpikir. Orang tua mempercayakan anaknya pada
para pengelola institusi pendidikan. Perubahan ke arah yang lebih baik
diharapkan lahir dari institusi ini.
Namun di Indonesia itu semua tinggal harapan.
Paradigma pendidikan tidak lagi berfokus pada pengembangan karakter atau peningkatan
kualitas kemanusiaan, namun semata untuk pemuas para kapten bisnis dan pabrik.
Pendidikan seni, sastra, dan humaniora ditinggalkan. Yang maju adalah
pendidikan yang terorientasi semata pada kepentingan bisnis ataupun agama
tertentu.
Harapan bahwa pendidikan akan menjadi garis
depan kemajuan bangsa pun tinggal impian. Selama paradigma yang digunakan masih
paradigma bisnis dan religius partikular, pendidikan hanya menjadi pelanggeng status
quo, dan tidak memiliki dimensi kritis untuk memicu perubahan. Yang sungguh
dibutuhkan sekarang adalah propaganda ide untuk mengubah pola berpikir para
pendidik di berbagai level pendidikan yang ada. Inilah penyakit bangsa nomor
dua yang perlu untuk kita waspadai bersama.
Irasionalitas Agama
Agama lahir untuk memberikan jalan kehidupan
yang bermakna bagi manusia. Agama mengajarkan bahwa hidup manusia bermakna, dan
bukanlah kesia-siaan belaka. Dengan agama manusia diajak untuk menjalani hidup
secara luhur. Esensi setiap agama adalah kebaikan hidup manusia itu sendiri,
baik secara pribadi maupun kolektif.
Di Indonesia agama telah kehilangan peran
utamanya. Agama tidak lagi menjadi sumber kebaikan dan nilai-nilai luhur,
tetapi elemen pemecah belah kehidupan bersama. Orang berperang dan membenci
atas nama agama. Diskriminasi dan ketidakadilan dilakukan juga atas nama agama.
Ini semua terjadi karena orang tidak menggunakan
akal budinya di dalam hidup beragama. Mereka sekedar percaya dan menjalankan
apapun secara buta, tanpa pertimbangan kritis. Mereka lupa akan esensi agama,
dan terpaku pada bagian-bagian semunya semata. Inilah yang disebut formalisme
agama, yakni paham yang memfokuskan diri pada ritual dan aturan formal, serta
lupa menghayati esensi dan roh sejati di baliknya.
Maka orang perlu menggunakan akal budinya secara
menyeluruh di dalam hidup beragama. Orang perlu melihat apa yang sungguh
penting di dalam agama, dan mengabaikan apa yang sifatnya superfisial.
Ketidakmampuan untuk menggunakan akal budi dan melihat esensi agama adalah
penyakit bangsa yang ketiga. Ini perlu untuk menjadi catatan kita semua.
Miskin Totalitas
Untuk maju orang harus bekerja secara total. Hal
yang sama berlaku untuk sebuah bangsa. Untuk menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur, rakyat dan pemerintah perlu bekerja sama dengan sepenuh hati. Tanpa
totalitas, yang ada adalah niat dan harapan yang tidak akan pernah terwujud
menjadi tindakan.
Orang Indonesia pintar membuat rencana. Namun
rencana itu tidak diikuti dengan totalitas di dalam tindakan. Akibatnya rencana
hanya menjadi guratan pena, dan tidak pernah sungguh menjadi nyata. Semua hal
dilakukan secara setengah-setengah. Hasilnya pun setengah-setengah pula.
Perang melawan korupsi dilakukan
setengah-setengah. Hasilnya pun tidak jelas. Reformasi hukum dilakukan
setengah-setengah, maka tidak ada hasilnya. Reformasi pendidikan tinggal slogan
tanpa makna. Pendidikan pun tidak bisa menjadi agen perubahan sosial yang
sejati.
Sikap setengah-setengah ini harus disadari, lalu
diubah. Yang perlu ditanamkan adalah kesadaran, bahwa segala sesuatu perlu
dilakukan dengan sepenuh hati. Kunci utama keberhasilan adalah konsistensi dan
totalitas di dalam bertindak. Tanpa keduanya tidak akan ada sesuatu yang
berjalan, sebagus apapun niat dan rencananya.
Mentalitas Massa
Idealnya warga negara adalah individu yang
dewasa. Kedewasaan ditentukan dari kemampuan untuk mempertimbangkan apa yang
baik dan buruk secara mandiri. Kedewasaan juga ditentukan dari sejauh mana
orang mampu menilai secara kritis dan rasional apapun yang diterimanya dari
dunia luar. Dengan kemandirian dan sikap kritis ini, orang bisa memutuskan dan
bertindak secara tepat dalam konteks-konteks tertentu.
Di Indonesia kemandirian berpikir amatlah jarang
ditemukan. Orang berpikir dengan menyandarkan diri pada tradisi yang sudah ada
sebelumnya. Kemandirian berpikir sering dianggap sebagai pemberontakan yang
mesti dilenyapkan. Tak heran individu tidak pernah sungguh menjadi dewasa, dan
hanya menjadi bagian dari massa yang sifatnya sesaat dan tanpa tujuan yang
bermakna.
Di Indonesia sikap kritis juga merupakan sesuatu
yang langka. Orang tidak diajarkan ataupun dibiasakan untuk berpikir kritis.
Justru orang lebih banyak dikondisikan untuk hidup dalam konformitas pendapat
umum yang sesungguhnya tidak selalu dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa sikap kritis
dan kemandirian berpikir, orang hanya ikut arus, dan mudah sekali disulut untuk
melakukan kekerasan massa tanpa alasan yang cukup masuk akal.
Inilah salah satu penyakit bangsa yang perlu
untuk “diobati”. Yang kita perlukan adalah kesadaran untuk berkembang menjadi
individu yang sadar diri, dan mampu menjaga jarak dari opini umum, ataupun
tekanan sosial yang tidak selalu bisa dibenarkan. Orang perlu untuk diajarkan
untuk menelaah ulang apa yang dilihat, dibaca, atau didengarnya. Hanya dengan
begitu mentalitas massa bisa dihindari.
Orang perlu diajarkan untuk beragama secara
otentik, dan bukan sekedar ikut-ikutan. Orang perlu diajak untuk berproses di
dalam pendidikan secara otentik dan unik, bukan hanya sekedar menjilat guru
ataupun dosen, guna mendapatkan nilai yang tinggi. Orang perlu diajarkan untuk
memeluk suatu profesi bukan karena paksaan sosial, tetapi karena panggilan
terdalam dari jiwanya.
Cepat Lupa
Bangsa yang besar selalu ingat akan sejarahnya.
Sejarah bukanlah sekedar kumpulan fakta, melainkan beragam peristiwa yang
dimaknai untuk dijadikan fondasi bagi harapan masa kini dan masa depan. Sejarah
berubah menjadi ingatan, yang kemudian mengendap menjadi identitas. Identitas
bangsa dibentuk dalam kesadaran penuh akan makna dari peristiwa masa lalu.
Di Indonesia sejarah tidak dianggap penting.
Beragam fakta diputarbalikkan untuk kepentingan penguasa. Akibatnya ingatan
tidaklah terbentuk, karena apa yang tertulis dan terkatakan berbeda dengan apa
yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat. Tanpa ingatan yang jelas dan tegas,
identitas tidak akan pernah terbentuk. Bangsa yang cepat lupa pada akhirnya
akan hidup tanpa identitas. Itulah yang terjadi di Indonesia.
Maka sebagai bangsa kita perlu untuk melakukan
pelurusan sejarah secara bertanggung jawab. Prinsip utama adalah kedekatan pada
kebenaran, dan sedapat mungkin menghindari pengaruh kekuasaan. Sejarah tidak
boleh hanya berhenti pada kumpulan fakta, tetapi juga harus bisa memberikan
makna pada apa yang kita alami saat ini, dan menjadi landasan harapan untuk
masa depan.
Partai tanpa Ideologi
Di dalam masyarakat demokratis, semua inisiatif
politik disalurkan melalui partai. Partai adalah basis ideologi dengan
pendidikan politik yang bermutu untuk rakyat. Partai tidak hanya berfokus untuk
merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan, tetapi juga untuk menegaskan,
memperdalam, dan mempropagandakan ideologinya secara konsisten.
Di Indonesia partai politik mengaku punya
ideologi. Namun dakuan itu tidak memiliki basis realitas. Ideologi partai sama
semua, yakni pragmatisme dangkal, di mana segala upaya dipakai untuk mencapai
tujuan merebut dan mempertahankan kursi kekuasaan. Nama partai hanya hiasan
untuk memikat rakyat, tanpa ada basis pemikiran dan ideologi yang jelas di
belakangnya.
Dengan situasi partai politik semacam itu,
inisiatif masyarakat tidak akan dapat tersalurkan. Para pimpinan bangsa tidak
lagi terpilih karena kompetensi, tetapi karena tautannya dengan partai tertentu
yang berkuasa. Demokrasi menjadi terhambat oleh kepentingan jangka pendek dan
golongan tertentu yang berkuasa. Masyarakat menjadi frutasi karena tidak
memperoleh hak-haknya sebagai warga negara yang sepantasnya.
Yang perlu dilakukan adalah mempertegas ideologi
partai politik yang ada. Ideologi perlu diperdalam basis teoritisnya, lalu
dikembangkan penerapannya yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ideologi
tersebut juga perlu dikembangkan untuk menjawab berbagai tantangan bangsa yang
ada di depan mata. Hanya dengan begitu partai politik bisa menjadi jembatan
rakyat menuju politik praktis yang berkeadilan.
Revolusi Paradigma
Ketujuh penyakit bangsa di atas haruslah
dipandang sebagai masalah bersama. Untuk itu kita perlu mengubah cara berpikir.
Kita perlu melihat masalah sebagai masalah, dan bukan sebagai sesuatu yang
biasa. Hanya dengan begitu kita bisa mulai mengobati berbagai penyakit bangsa
yang saya tuliskan di atas.
Di Indonesia apa yang saya tuliskan di atas
belumlah dianggap sebagai masalah, tetapi sebagai sesuatu yang wajar. Tak ada
keprihatinan yang cukup kuat untuk menciptakan gerakan sosial, guna mengubah
keadaan. Masalah belum dilihat sebagai masalah, tetapi sebagai bagian dari
rutinitas yang seolah tak bisa diubah. Kita tenggelam dalam lautan problematika
bangsa, tanpa pernah merasa terjun sebelumnya.
Tujuh penyakit bangsa adalah penyakit kita
semua. Kita yang menciptakannya dan kita semua yang memiliki tanggung jawab
untuk menyembuhkannya. Yang kita perlukan adalah niat baja untuk mengubah
keadaan, dan keterbukaan hati untuk menghadapi kemungkinan kegagalan.
Selebihnya kita lihat saja… hidup punya caranya sendiri untuk mengatur kita..
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas
Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
0 komentar: